Seperti biasa, hari Senin bagiku selalu dimulai dengan menaiki mobil four wheel drive
(4WD), meluncur ke jalan tak beraspal dari kota kecil Thyolo menuju
perkampungan Thekerani, tempat dimana aku bekerja hampir setiap hari
sepanjang minggu.
Seperti orang Asia kebanyakan, setiap kali
membayangkan Afrika yang muncul di benakku adalah sebuah daerah yang
kering dan tandus, dengan cuaca yang panasnya minta ampun, dan aneka
satwa liarnya. Tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya bahwa di
Afrika juga ada musim dingin. Meski tak ada salju, namun selama musim
dingin suhu di sini bisa mencapai kisaran antara 10-15 derajat Celsius.
Itu cukup dingin untuk membuat darah tropisku membeku. Dan aku tak
mempersiapkan apa-apa untuk menghadapi kondisi seperti ini.
Jaket yang kubeli beberapa minggu lalu di sebuah pasar loak terasa
hangat membungkus tubuhku, namun tetap tak mempan melawan terpaan angin
musim dingin yang terasa menusuk. “Semakin hari cuaca terasa semakin dingin..” gumamku sambil menggosok-gosokkan kedua telapan tangan, mencoba mengusir dingin–meski hanya beberapa saat.
Itulah kenapa, setiap kali melakukan perjalanan menuju Thekerani, aku
sering tertidur dan bermimpi bahwa aku sedang berbaring sambil
bermalas-malasan di atas sebuah ayunan di Pulau Hoga, Indonesia,
berjemur di bawah terik matahari tropis dengan iPod yang memutar
lagu-lagu menghayutkan dari band favoritku Maliq&D’Essentials. Namun
jalan yang bergelombang selalu membuatku terbangun dari mimpi indah dan
membawaku kembali ke alam nyata – ke sebuah mobil yang sarat muatan dan
sebuah kotak berat di atas pangkuanku.
Setiap kali melakukan
perjalanan ke Thekerani, mobil ini memang selalu sarat muatan. Selain
para perawat dan petugas kesehatan, mobil juga dijejali dengan
kotak-kotak berisi obat-obatan penting dan antiretroviral
(ARVs) – obat untuk penderita HIV, yang kami terima dari Kementrian
Kesehatan Malawi. Hingga hanya tersisa sedikit ruang bagiku untuk duduk
dan meregangkan persendian.
“Aku merasa seperti di dalam kaleng sarden!” seruku ketika salah seorang perawat menanyakan pendapatku tentang perjalanan ini. Dia tertawa mendengar jawabanku.
Perjalanan menuju Thekerani selalu membuatku terpesona. Kami melewati
hamparan perkebunan teh yang sangat luas berpagar pohon-pohon kacang
macadamia yang berjajar dengan rapi. Kami melihat wajah-wajah penasaran
para pemetik teh yang selalu melambaikan tangan setiap kali melihat kami
lewat di sana. Sepanjang perjalanan, mobil harus berhenti beberapa kali
di pusat-pusat kesehatan berbeda untuk menurunkan para petugas di
tempat ‘dinas’ masing-masing. Aku selalu mendapat giliran terakhir
diantar ke tempat tugas. Meskipun lokasinya berbeda, namun pemandangan
yang kutemui di pusat-pusat kesehatan selalu sama. Akan selalu ada
kerumunan pasien memegang kartu kendali berwarni-warni – alat yang kami
gunakan untuk memantau kondisi pasien yang sedang menjalani pengobatan
HIV – yang mengantri untuk mendapatkan jatah ARV mereka. Biasanya setiap
pasien akan mendapatkan pasokan ARV untuk satu sampai tiga bulan,
tergantung kondisi kesehatan dan stok obat yang tersedia di klinik
bersangkutan.
Biasanya, begitu sampai di Thekerani, aku
langsung menuju rumah tempatku menginap untuk meletakkan barang-barang
bawaan pribadi, melepaskan penat setelah menempuh perjalanan panjang dan
melelahkan, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi hari-hari sibuk
yang sudah menunggu. Namun, ada juga saat-saat di mana aku tak bisa
melakukan itu semua karena harus sesegera mungkin menuju pusat
kesehatan.
Di Thekerani, aku merupakan dokter satu-satunya.
Sisanya adalah perawat dan staf dari Kementerian Kesehatan (MoH).
Medecins Sans Frontieres (MSF) membantu MoH dalam memberikan pelayanan
kesehatan di derah-daerah untuk pasien HIV dan tuberkulosis (TB) mulai
dari pusat kesehatan di tingkat distrik hingga pedesaan.
Suatu
siang, aku menerima pesan singkat dari perawat di pusat kesehatan:
“Pasien bersalin butuh pertolongan darurat, kami menunggu kedatangan
Anda di klinik secepatnya!” Untuk memastikan, aku membaca pesan yang
kuterima di ponselku itu sekali lagi, dan dengan spontan mengambil tas
berisi peralatan medis dan obat-obatan. Bergegas, aku berjalan menuju
klinik. Aku berlari-lari kecil untuk segera sampai di sana dan bisa
segera menangani pasien tersebut. Adrelin yang berpacu dengan kencang
membuatku lupa akan lapar dan rasa sakit di badan.
Pasien yang
kutangani tersebut mengalami pendarahan yang sangat parah. Riwayat
kesehatannya memperlihatkan bahwa ia sebelumnya mengalami nyeri perut
dan tidak menstruasi selama dua bulan. Tes kehamilan menunjukkan bahwa
perempuan tersebut memang tengah hamil dan kami curiga ia mengalami
kehamilan ektopik (ectopic pregnancy, kehamilan di luar
kandungan) – komplikasi kehamilan yang bisa mengancam keselamatan sang
ibu. Dalam kasus semacam ini, persalinan tidak bisa dilakukan atau
dengan kata lain si ibu tak bisa melahirkan. Kami tak bisa berbuat
apa-apa selain menstabilkan pasien tersebut lalu merujuknya ke rumah
sakit untuk dioperasi.
http://health.kompas.com/read/2012/06/22/17551018/Perjalanan.ke.Thekerani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar