Surga Makanan di Dongmen, Shenzhen
Sebagai kota pendatang, Shenzhen memiliki banyak pilihan makanan menggiurkan untuk dicoba. Dan tidak perlu bersusah payah menjajal wisata kuliner di kota tetangga Hongkong ini. Soalnya, Shenzhen punya banyak jalan yang khusus menjual makanan (street food).
Beberapa jalan yang saya rekomendasikan adalah Dongmen Eat Street, Bagua First Road Eat Street, dan Huaqiang Bei Eat Street. Yang terakhir ini, cocok bagi kaum muslim yang ingin mencoba wisata kuliner di Shenzhen karena terdapat suguhan makanan dari suku “Uighur”, suku beragama Islam di Cina.
Pada malam terakhir di Shenzhen, saya memutuskan menghabiskan malam dengan wisata kuliner di Dongmen Food Street. Selain banyak pilihan makanan, daerah ini juga dikenal sebagai salah satu pusat belanja anak muda Shenzhen.
Untuk mencapai Dongmen tidak sulit. Dari perbatasan di Louhu, cukup naik kereta bawah tanah jalur satu (Luobao Line) dan turun di stasiun kedua, Laojie. Ongkos subway hanya 2 yuan (tidak sampai Rp 5 ribu).
Dongmen sebagai pusat perbelanjaan dibangun 300 tahun lalu sehingga daerah ini juga dikenal sebagai jalan tua (Old Street). Sesuai dengan namanya, saat menyusuri daerah ini, banyak gedung bergaya kuno yang masih dipertahankan. Salah satunya yang paling terkenal adalah gedung restoran KFC dan McDonald.
Semakin malam, daerah Dongmen (yang berarti Pintu Timur) ini semakin ramai. Kebanyakan para pekerja muda yang mencari makan malam sepulang jam kantor. Sekeluar dari MTR, saya berjalan lurus ke arah jalan Dongmen Tengah, menuju Dongmen Food Bridge. Di gedung berlorong (sepintas seperti Cilandak Town Square di Jakarta dengan format kecil dan padat), berjajar toko dan kios makanan.
Perut pun langsung mules melihat jejeran makanan segitu banyaknya. Bingung mencoba yang mana terlebih dahulu.
Kios pertama yang saya kunjungi adalah kios sate. Dengan harga 8 yuan (sekitar Rp 10 ribu), pembeli boleh memilih empat macam tusuk sate yang kemudian langsung dibakar langsung. Pilihan satenya bervariasi. Mulai dari sayap ayam, gurita bayi, cumi, bakso, sosis sampai entah jeroan apa lagi, yang saya tidak bisa menebak. Setelah dibakar, di depan kios ada berbagai bumbu tambahan seperti cabe bubuk, kecap, atau lada untuk ditambahkan sendiri sesuai selera.
Dari situ, saya berpindah ke tempat dimsum. Berbeda dengan restoran dimsum di Indonesia, kita bisa langsung ke etalase dan memilih dimsum yang ingin dicoba. Mulut saya langsung menganga lebar-lebar melihat pilihan dimsum yang menampilkan lebih dari 100 macam itu. Lengkap dari dimsum uap sampai goreng!
Pilihan segitu banyak ternyata terkumpul dari berbagai daerah di Cina (maklum, Shenzhen kota pendatang). Saya pun memilih dimsum unik seperti bubur taro, lobak, akar bambu muda, lumpia, sampai pangsit bebek. Minumnya cukup teh panas dalam poci. Setelah memesan hampir tujuh macam dimsum, saya kembali kaget melihat harga keseluruhan yang hanya 50 yuan (Rp 70 ribu)! Ya ampun, tidak salah ini.
Perut sebenarnya sudah kenyang. Tetapi, ketika keluar dari restoran dimsum, jajaran kios kembali membangkitkan semangat untuk mencoba makanan lainnya. Enaknya mengelilingi daerah jajanan Dongmen ini adalah pilihan makanannya yang sangat bervariasi.
Tidak hanya makanan khas Cina, pilihan makanan internasional dengan harga lokal pun banyak. Kalau tidak terlalu berani untuk mencoba makanan lokal, Anda bisa mencoba pizza yang dijual seharga 8 yuan satu loyang. Atau waffle dan es krim yang hanya 5 yuan. Atau Takoyaki yang juga dijual hanya 5 yuan. Ini jelas lebih murah daripada beli takoyaki di tempat asalnya di Jepang, pastinya.
Tempat selanjutnya yang menjadi tujuan icip-icip saya selanjutnya adalah kios kuah-kuah. Mumpung berada di Cina, saya pun mencoba bakso. Dalam mangkok-mangkok mungil, saya menyantap bakso daging, la mia dengan sambel khas Shechuan, dan bakso jeroan lainnya.
Selain itu, saya juga menyantap nasi goreng Guangdong yang membuat ketagihan gara-gara kacang garing dan irisan daun bawangnya. Semua dijual dengan harga lima yuan per mangkok.
Jika mengikuti suasana, saya mungkin akan terus menyusuri kios makanan. Apalagi, semakin malam, Dongmen semakin hiruk-pikuk. Tapi, saya kemudian harus mengingatkan diri sendiri karena belum melongok pertokoan di sekitar Dongmen. Kabarnya, barang-barang yang dijual di sini 15 persen lebih murah dibanding pusat perbelanjaan lainnya di Shenzhen.
Dan, dengan sukses saya pun menyesal karena terlalu kalap menyantap berbagai cemilan di situ karena perut yang sudah kekenyangan memperlambat gerak saya berburu barang murah.
Seperti halnya di Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta, membeli barang di Dongmen ini harus penuh dengan keberanian menawar. Karakter warga Shenzhen yang memiliki suara tinggi kadang membuat kita ciut nyali tetapi jika tidak berani tembak langsung, susah untuk mendapatkan harga super miring.
Dibantu teman yang kebetulan tinggal di Shenzhen, saya pun sukses melewati proses tawar-menawar yang menegangkan hingga dua kali keluar masuk toko sepatu yang diincar. Harga sepasang sepatu dipatok di angka Rp 200 ribu, tapi saya sukses mendapatkan tiga pasang dengan harga tersebut.
Kalau tidak ingat harus kembali ke Hongkong, saya mungkin akan terus berbelanja barang-barang tiruan kualitas bagus di Shenzhen.
0 komentar:
Posting Komentar